Mengubah Tingkah Laku Manusia Dengan Dakwah
By Prof. Dr. Achmad Mubarok (http://mubarok- institute. blogspot. com)
Adanya sistem nafs pada manusia menyebabkan ia menjadi mahkluk yang berpikir dan merasa. Manusia tidak tunduk begitu saja kepada keinginannya, tidak pula pasif terhadap lingkungan, tetapi secara aktif ia bereaksi terhadap lingkungan. Manusia berusah memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran yang dimiliki. Manusia dapat memberi makna positif kepada rangsang yang diterimanya, dan pada dasarnya ia dapat berpikir konstruktif.
Dalam perspektif ini, maka tingkah laku manusia dapat diubah jika kepadanya diberikan gagasan-gagasan baik yang masuk akal dan sejalan dengan cara berpikir dan cara merasanya.berkomuni kasi kepada manusia dengan menggunakan pendekatan seperti itu disebut penekatan persuasif, yakni dengan pendekatan nafs.
Al-Qur'an mengandung pesan yang sifatnya mengajak manusia untuk berpikir dan melakukan hal-hal yang mengandung nilai kebenaran. al-Qur’an juga menganjurkan agar ada sekelompok orang yang secara khusus bekerja sebagai penyampai pesan (Q.,s.al-Tawbah/ 9:122). Dalam khutbah haji wada' Rasul juga mengingatkan tugas setiap Muslim untuk berdakwah, fa liyubaligh al-syahidu minkum al-ghaib, hendaknya orang yang hadir menyampaikan pasan Islam ini kepada yang tidak hadir. Pada dasarnya setiap muslim wajib berdakwah, tetapi yang diwajibkan untuk menjadikan dakwah sebagai profesi hanya ditujukan kepada sekelompok kecil (tha'ifah) saja.
Dakwah adalah suatu usaha mengajak atau mempengaruhi orang lain agar mereka bertingkah laku seperti apa yang dikehendaki oleh pendakwah (da'i). Sebagai peristiwa komunikasi, dakwah melibatkan unsur-unsur da’i, mad’u, pesan, metode dan media. Tujuan utama dakwah adalah mengubah tingkah laku manusia, dari tingkah laku negatif ke tingkah laku positif. Karena tingkah laku manusia bersumber dari nafs (jiwa)-nya maka dakwah yang efektif adalah yang bisa diterima oleh nafs, yakni oleh cara berpikir dan cara merasa mad'u, sehingga meski orang yang didakwai (mad'u) itu sebenarnya sedang mengikuti petunjuk dai tapi ia merasa sedang mengikuti kehendak sendiri. Dakwah seperti inilah yng disebut sebagai dakwah persuasive. Dakwah akan efektif apabila da’i mengusai medan , menguasai materi yang diperlukan dan mengusai metode penyampainnya. Untuk itu seorang da'i dituntut untuk mempersiapkan diri dengan berbagai pengtahuan dan keterampilan, agar ia dapat berdakwah secara profesional.
Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q., s. al-Tawbah/9: 122).
Surat al-Tawbah/9: 122 di atas mengandung anjuran agar ada sekelompok orang yang secara khusus belajar menekuni ilmu-ilmu agama dan kemudian secara “profesional” menjalankan dakwah kepada masyarakat luas. Latar belakang turunnya ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin sangat bersemangat untuk berangkat berjihad seagai prajurit sampai tidak ada yang tertinggal di Madinah kecuali orang jompo dan anak-anak. Mereka berangkat ke medan perang meninggalkan Rasul seorang diri di Madinah.
Ayat ini kemudian dipahami oleh para mufasir, bahwa di antara kaum Muslimin harus ada sekolompok orang yang secara khusus menekuni ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan bahwa kedudukan orang yang tidak berangkat berperang tetapi menekuni agama (dalam konteks jaman Rasul berarti berkhidmat kepada Rasul sebagai pusat ilmu) setingkat dengan orang yang pergi berjihad. Dengan kata lain bahwa menekuni agama dan berdakwah merupakan satu dimensi jihad, dan seorang da’i adalah seorang mujahid, yakni mujahid dakwah.